Selasa, 01 November 2011

“ Impian Alyssa ”


            Aku menyenderkan punggung ku tepat ke kursi roda ku yang selalu ada bersama ku. Aku memang seorang gadis yang terlahir tidak sempurna, aku adalah seorang Alyssa Saufika Umari yang terlahir dengan kaki yang lumpuh. Mungkin ini semua sudah menjadi bagian  dari takdir di hidup ku. Selain itu aku hanya tinggan bersama kakek ku, seseorang yang paling aku sayangi di dunia ini. Aku tak tahu siapa orangtua ku, melihat wajahnya pun saja tidak pernah. Yang jelas aku ketahui bahwa kedua orangtua ku menitipkan diriku kepada kakek ku, dan yang pastinya, mereka malu mempunyai anak cacat seperti ku!
            Ku putar roda yang terdapat dikursi roda ku secara perlahan, menuju sebagian kecil dari kamar kecil ku, sebuah laci meja kecil yang terdapat dipojokan ruangan. Ku buka laci tersebut, terdapat sebuah papan kayu yang berukuran sedang, di atas papan tersebut terdapat beberapa garis yang membentuk seperti rentetan tults-tutls piano. Memang benda tersebut adalah sebuah replika piano yang dibuat oleh kakek ku. aku memang mempunyai impian besar menjadi seorang pianist, seorang pianist yang bisa mengekspresikan karyanya dan bermanfaat untuk orang lain. Namun impian ku tersebut harus ku tutup rapat-rapat, semua harapan ku pupus ketika menyadari aku bukan lah seperti orang yang layaknya seperti biasanya, aku hanya seseorang penyandang cacat yang tak pernah di hargai di dunia ini.
***
            Aku memutar roda kursi roda ku secara perlahan, keramaian koridor sekolah yang sedikit mempersulit ku untuk menuju kelas ku. Tak ada satu pun yang memperdulikan kehadiran ku, mereka hanya menggapku seorang penyandang cacat yang memiliki nasib yang sangat buruk, itu lah aku.
            Aku memasuki kelas ku, ku sadari bahwa kelas ku yang tadinya dalam keadaan ramai, tiba-tiba langsung menjadi hening. Semua terdiam ketika menyadari kehadiran ku. Ku tundukan kepala ku dalam-dalam, aku sangat malu apabila dihadapkan dalam keadaan ini. Tiba-tiba ada seseorang yang memecahkan keheningan diruangan ini “eh, si cacat sudah datang!”
            Reflek, ku angkat kepala ku dengan cepat dan pandangan ku langsung tertuju kepada seseorang. Rian, cowok jail yang dapat ku simpulkan dia sama sekali tak suka dengan ku, entah dengan alasan apa, yang pasti sudah berkali-kali ini mencoba menjahili ku, tapi toh aku sama sekali tak perduli.
            Tawa orang-orang yang ada di kelas pun pecah, mereka langsung menertawai ku, mencaci, menghina ku dan memandang meremehkan ke arah ku. Tapi ini lah aku, aku yang sama sekali tak memperdulikan semua yang membenci ku, aku bangga menjadi diri ku ini.
***
            Ku tutup buku pelajaran ku yang telah ku baca. Ku lirik jam dinding yang berbentuk stitch yang terdapat di dinding kamar ku, jam yang menunjukan pukul 10 malam ini. Mata ku yang semakin lama semakin berat membuat rasa kantuk yang menghinggapi.
            Tiba-tiba ku dengar suara pintu yang berdecit, tanda seseorang yang masuk ke kamar ku. Ku lihat kakek ku yang berdiri tegap mengahadap ku, kadang aku malu terhadap diri ku. Seharusnya aku yang merawatnya ketika ia masuk ke masa tuanya, tetapi semuanya terbalik, ia harus bersusah payah merwat ku, menguluarkan tetesan keringatnya untuk membiayai hidup ku.
Ia berjalan menuju ke arah ku, lalu tersenyum kepada ku “belum tidur, Lyss?”
Aku menggeleng “baru selesai belajar, kek”
Dia berjalan membelakangi ku, tepat pojok kamarku lah yang ia tuju. Ia membuka laci lemari ku, tempat di mana papan kayu itu berada, ya ia mengambil papan kayu tersebut dan kembali berjalan ke arah ku “boleh kamu mainkan instrument ‘fur elise’ ?”
            Aku mengangguk setuju, kemudian ku raih papan kayu tersebut dan langsung menaruhnya di pangkuan ku. Perlahan ku mulai memainkan lagu tersebut, memejamkan kedua matanya dan membayangkan bahwa yang ada di hadapan ku bukan lah sebuah papan kayu lusuh yang sengaja dibuat agar mirip seperti tults-tults piano, tetapi sebuah piano sungguhan. Dapat ku rasa kan bahwa kakek ku memperhatikan ku dengan serius, memperhatikan jari-jari ku yang menari di atas papan tersebut. Sedetik kemudian ku buka kedua mataku, dan tersenyum tipis kepadanya.
            Dia mengusap ubun-ubun ku dan senyum yang mengambang di wajahnya semakin lebar “kamu makin pintar bermainnya, Lyss” ucapnya “kakek janji, kalau kakek punya uang lebih, kakek akan beliin kamu piano”
            Aku tersentak kaget mendengar ucapan kakek ku “tapi kek, piano itu harganya mahal” aku terlalu bodoh, bisa-bisanya aku mengeluarkan kata-kata seperti itu, aku tak mau menyinggung hatinya, aku takut ia merasa bersalah.
            Kakek ku menatap ku teduh, mencoba meyakin kan ku dengan perkataannya tersebut “kakek sudah janji sama kamu, kakek ingin melihat kamu menjadi pianist hebat, dan kamu harus buktikan semua itu dihadapan kakek”
            Air mata ku mengumpul di pelupuk mata ku, yang secara perlahan menetes melewati jawah tirus ku, aku tau ia sangat ingin melihat ku menjadi seorang yang sukses. Reflek, ku peluk erat tubuhnya, seperti tak mau kehilangannya.
***
            Aku kembali memutar roda kursi roda ku, tepat di koridor sekolah ku yang sangat sepi ini aku berjalan sendirian menuju ruang guru. Bu Sindy yang memanggil ku untuk menemuinya di ruang guru.
            Tetapi perjalanan ku yang secara tiba-tiba aku hentikan ketika mendapati sebuah hal yang sangat menarik bagi ku. Aku melihat sebuah ruangan yang ada di sekolah ku ini terbuka, aku memang telah cukup lama sekolah di sini, tetapi aku sama sekali tak pernah melihat ruangan ini terbuka. Rasa penasaran yang menyelinap ke hati ku membuat aku mendekati ruangan tersebut.
            Mata ku terbelalak kaget ketika melihat sebuah benda yang terdapat di pojok ruangan tersebut, sebuah benda yang sangat aku kagumi di dunia ini, piano. Perlahan aku mendekati benda tersebut. Ku usap permukaan piano tersebut karena sedikit berdebu. Mungkin apabila benda ini menjadi milik ku, aku akan merawatnya dengan sangat baik.
            Ku buka tutup permukaan piano tersebut yang menyembunyikan tults-tutls piano yang berwarna putih bersih. Entah dengan keberanian dari mana, aku mencoba menekan tults-tults piano tersebut yang lama kelamaan menarik ku untuk memainkan piano tersebut. instrument ‘fur elise’ yang dengan sempurna ku nyanyikan walaupun ada beberapa not yang salah, mungkin karena aku biasanya berlatih dengan sebuah papan kayu yang tak bisa menciptakan alunan nada yang seindah ini.
            Suara tepuk tangan seseorang yang bersumber dari belakang tubuh ku yang langsung menyita perhatian ku seketika. Ku putar tubuh ku, ku lihat Bu Sindy yang sedang menatap ku dengan wajah dinginnya. Ku tundukan kepala ku, aku takut kalau ia marah karena aku tak memenuhi panggilannya. Dapat ku rasa kan bahwa Bu Sindy yang berjalan menuju ke arah ku.
            Tiba-tiba aku merasakan bahwa seseorang yang menepuk pundak ku secara perlahan yang membuat aku menadah kan kepala ku. Dapat ku lihat Bu Sindy yang menatap ku dengan mata yang berkaca-kaca “permainan piano mu sangat bagus, Alyssa” Aku tersentak kaget mendengar perkatannya, dan ku tatap guru ku ini dengan senyum ragu, mungkin wajah ku sekarang ini sangat aneh. “Ibu punya sebuah kejutan untuk mu, yang pasti kamu akan menolaknya”
***
            Aku memantulkan tubuh ku ke sebuah kaca besar yang ada di hadapan ku. Senyum yang sedari tadi tak pernah pudar, mungkin hari ini sebagai hari yang terindah di hidupku. Kini aku bisa sedikit mewujudkan cita-cita ku, cita-cita sebagai seorang pianist. Sebuah ajang lomba yang di tawar kan Bu Sindy kepada ku yang justru saja tak bisa membuat aku menolaknya.
            Mc yang memanggil nama ku untuk naik ke atas panggung dan menunjukan sebuah persembahan yang terbaik dari ku. Dengan di bantu dengan beberapa orang, aku menaiki panggung masih dengan kursi roda ku. Tetapi entah mengapa perasaan gelisah yang menghinggapi di pikiran ku, tetapi dengan sekuat mungkin aku coba untuk menepis rasa tersebut, mencoba menenangkan diri ku.
            Di hadapan ku kini sebuah grand piano yang berwarna putih yang semakin membuat ku terlihat anggung. Ku biar kan jari-jari ku menari-nari di atas tults-tutls paino, yang menciptakan alunan yang sangat indah yang memenuhi ruangan ini.kini permainan instrument ‘fur elise’ telah selesai, semuanya berjalan lancer, aku memutar tubuhku agar menghadap ke arah penonton dan sedikit membungkuk kan tubuhku. Keheningan yang secara tiba-tiba tergantikan dengan tepuk tangan riuh penontoh yang membuat ku tersanjung. Tapi sekarang aku sadar tentang sesuatu yang membuat ku gelisah, kakek ku tak ada saat ini!
***
            Air mata ku tumpah seketika, di hadapan ku ada sebuah gundukan tanah. Sebuah pusaka terakhir seseorang, pusaka kakek ku. Kini semuanya telah berakhir, kakek ku telah di panggil sang kuasa. Yang ku ketahui, beliau sangat bersikeras untuk hadir dalam acara semalam, tetapi takdir berkata lain, tuhan terlalu sayang kepadanya, ia menghembuskan nafas terakhirnya saat kecelakaan tragis semalam. Sebuah kecelakaan yang merenggut semua nafasnya, yang mengeluarkan cairan merah kental dari tubuhnya.
            Ku genggam erat-erat piala yang ada di tangan kiri ku. “kakek, kakek janji kan untuk selalu bersama Lyssa! Selalu menemani Lyssa! Tapi mana janji kakek, kenapa kakek ninggalin Lyssa sendiri disini! Dan kakek juga janji buat beliin piano buat Lyssa, mana semua janji kakek?! Kakek bohong!” tubuh ku bergetar hebat, air mata meluncur semakin deras, membuat aliran sungai kecil di wajah ku “kakek liat, Lyssa bawa piala buat kakek! Semalam Lyssa menang, Lyssa bisa membuktikan bahwa Lyssa bisa untuk menjadi seorang pianist!”
            Seseorang yang memelukku dari samping, mencoba memberikan kekuatan untuk ku, seorang wanita yang sedari dulu aku benci, tetapi rasa sayang ku lebih besar dari pada rasa kebencian ku, dia Ibu ku. Walau pun ia telah membuang ku, tak mau mengaggapku sebagai anaknya, tetapi dia tetap menjadi ibu ku, seseorang yang telah berjasa melahirkan ku ke dunia ini “relain kakek mu Lyss, biar dia tenang di alam sana. Jangan buat dia sedih melihat keadaan kamu seperti ini. Dia sayang kamu Lyss, dan selamanya rasa sayang itu tidak akan hilang sampai kapan pun. Dia ingin melihat mu tersenyum di surga sana!” aku terdiam mendengar penuturan dari ibu ku, aku mencoba mencerna perkataannya “sekarang lebih baik kita pulang, sudah sore”
            Tanpa bisa menolak lagi, aku kembali duduk di kursi roda ku, tentu dengan di bantu oleh ibu ku. Biar lah angin kecang yang terus menerpa tubuh ku, yang ku harap bisa membawa sedikit kesedihan ku.
***
            Aku menatap lagit sore pada saat itu, angin kencang yang menerpa pepohonan yang membuat daun-daun terjatuh ke tanah. jarang sekali di Indonesia ada musim gugur. Kini semuanya telah berubah, aku bukan lah seorang Alyssa yang dulu, Alyssa yang hidupnya selalu diwarnai dengan cacian dan makian. Kini, langit cerah yang tadinya ditutupi oleh awah hitam telah terbuka, memberikan seberkas cahaya dan menimbulkan pelangi yang indah. Kini aku adalah seorang Alyssa Saufika Umari yang di hargai, di segani, dan di kagumi.
            Ku sapu pandangan ku di sekeliling kamar ku, terdapat kumpulan piala yang terdapat di lemari dan barisan piagam yang tertempel di dinding kamar ku. Semuanya telah berubah, roda telah berputar. Kini aku telah bisa mewujudkan impian ku sebagai pianist.
            Perjuangan ku selama bertahun-tahun telah membuah kan hasil,walaupun tidak memiliku kekurangan, aku tak pernah berputus asa. sebuah piano pun juga terdapat di kamar ku. Kamar ini telah berubah drastis ketika aku memutuskan tinggal bersama kedua orang tua ku dan memnbentuk sebuah keluarga bahagia.
            Kini semua kisah yang dulu diwarnai dengan tangisan telah terganti dengan senyuman. Sebuah kisah happy ending yang terdapat disepenggalan hidup ku. Sebuah kisah yang sama sekali tak bisa terlupakan. Kisah antara diriku, kakek ku, dan piano.

_selesai_